***
Selain
rumah yang kami tinggali, wajah ayah (yang dalam arti sebenarnya)
hanya bisa kutilik di foto itu. Foto ayah satu-satunya yang dimiliki
ibu. Masa kecil tak pernah memberiku pelajaran akan bagaimana sosok
ayah yang hilang dan hanya menjelma menjadi sebuah rumah. Ketika
kawan-kawan sepermainanku bercerita tentang ayah, aku bercerita tentang
ibu. Ketika mereka berwarta bahwa ayah mereka selalu diundang dalam
kegiatan Yaasin dan Tahlil, kemudian pulang dengan nasi berkat yang
masih mengepul, aku pun selalu menyela bahwa ibukulah yang selalu
diundang sebagai juru masaknya. Pernah pula mereka bertanya, apakah aku
pernah dipanggul di bahu seorang ayah, maka aku balik bertanya, apakah
mereka pernah dipanggul di bahu seoarang ayah yang sekaligus ibu. Ibu
yang ayah, atau ayah yang ibu. Dan mereka tak pernah bisa menjawab.
Aku
tak tahu, apakah aku lebih beruntung dari mereka, atau mereka yang
lebih beruntung dariku. Yang pasti, mereka tak pernah memiliki ibu
seperti ibuku. Ibu yang sangat tangguh sekaligus lembut. Ibu yang
sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu.
Meskipun
kecil, aku cukup pandai bersilat lidah. Pernyataan atau pertanyaan
teman-teman sepermainan—yang selalu dilempar di mukaku, selalu bisa
kutangkal dengan lidahku. Meskipun sepulang bermain, sesampainya di
rumah, tiba-tiba aku menjadi seorang pemarah dan pemurung. Dan sasaran
yang paling tepat untuk melimpahkan semua rasa kesalku adalah ibu. Ibu
yang tak pandai bersilat lidah, melawan eyelanku.
“Ibu, carikan aku ayah.” Pintaku dengan hati sebak.
Ibu terantuk kaget mendengar suara yang mengempas dari mulutku.
“Ayah?” ia seperti tak mendengar pintaku.
“Iya, carikan aku ayah.”
“Kita kan sudah punya ayah.”
“Maksudku ayah yang manusia, bukan ayah yang rumah.”
“Ayahmu
kan ayah yang manusia. Lihat fotonya, alangkah tampannya ayahmu itu,
alisnya tebal sepertimu.” Ibu mencoba mengalihkan perhatian.
“Maksudku
ayah yang bisa menyentuhku, ayah yang bisa menggendongku di atas
bahunya, ayah yang di undang ke Yaasinan dan pulang membawa nasi berkat.
Ayah yang…”
Raut wajah ibu mulai berubah, seperti bara yang padam.
“Ayo, Bu. Aku ingin seperti teman-teman yang punya ayah manusia, bukan rumah dan foto saja.”
Kini mata ibu berkilat, seperti kaca tertikam hujan.
“Apakah ibu tidak cukup menjadi ayahmu?” katanya kemudian, berkabut.
“Tapi ibu kan perempuan.”
Ibu kembali terdiam.
“Ibu tak punya kumis dan lengan yang kekar.”
Ibu menunduk.
“Ibu tak bisa mengajariku sepak bola, apalagi silat.”
Ibu pura-pura tertidur.
Setelah
ibu sempurna dalam diamnya. Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah pada
ibu. Ingin rasanya kembali kumakan kata-kataku. Kalau sudah begitu, aku
akan mendekati ibu perlahan-lahan dan menidurkan kepalaku di atas
pangkuannya. Supaya bisa kutilik mata ibu dari bawah, apakah ia memang
tertidur atau hanya menyembunyikan air mata.
***
Ibu benar, ia tak perlu menjelaskan semuanya. Karena usia lebih
sempurna menjelaskannya. Aku tahu, mengapa dulu ibu menyebut ayah
sebagai rumah. Ia hanya ingin melukiskan bagaimana sosok seorang
ayah—yang tangguh dan selalu melindungi, dari terik, hujan, dan
ancaman. Aku tahu, anak delapan tahun takkan mungkin tertimpa beban
mengartikan kata ‘meninggal’.
Ketika
usiaku menginjak belasan, dengan sangat perlahan ibu mulai menjelaskan
bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—hanya
karena mereka pernah hidup. Maka berjubal-jubal pertanyaan berkecambah
dalam kepalaku setelah cerita itu.
Dan bagaimana kematian menjemput ayah? Ada badai di paru-parunya yang melupakan bah merah, begitu jawab ibu.
Dan di mana kini ayah dimakamkan? Ada di kampung leluhur ayahmu, jauh sekali dari sini, jauh sekali…
Dan
bagaimana kita bisa berada di tempat yang jauh dari ayah? Ayahmu
adalah seorang perantau, dan seorang perantau harus kembali ke tanah
rahimnya, tak peduli renta atau jasad semata…
Dan mengapa ibu tidak mencari lelaki yang baru? Aku sudah memiliki lelaki yang baru, kau! kenapa aku musti mencari yang lain…
Dan
ibu seorang janda, tidakkah itu sangat sulit? Kesulitan yang paling
sulit telah kutelan, yaitu ketika ayahmu pergi, dan bahkan jasadnya
bagai haram kusambangi…
Sebenarnya
aku ingin bertanya yang lebih dari itu: bagaimana ibu bertahan dari
dingin tanpa seorang lelaki selama puluhan tahun, namun pertanyaan itu
tampaknya tak perlu kuungkapkan. Aku sudah tahu jawabannya, satu kata:
tangguh. Ya, ibu hanya tangguh. Sangat tangguh.
***
Usia
bagai jalan setapak, dari tempat berangkat akan terus melaju ke tempat
tujuan. Di usiaku yang masih labil, rinduku akan sosok ayah kian
merajalela. Aku tak ingin mengartikan ini sebagai perjalanan yang
timpang, tapi kulihat lukisan keluarga yang terpajang di dinding hatiku
begitu suram, tak sempurna. Aku bagai unggas tersesat yang hanya
memiliki satu sayap. Tak mampu terbang. Hanya meloncat-loncat.
“Lelaki memang ditakdirkan menjadi ayah, kelak kau pun akan menjadi
seorang ayah.” seloroh ibu suatu malam, ketika aku memintanya bercerita
kembali tentang ayah. Tentu saja aku terhenyak.
“Menjadi
seorang ayah?” balasku gagu, “oh, tentu saja.” Itu yang melesat dari
mulutku. Tapi, dalam kepalaku lain. Dalam kepalaku, kubayangkan diriku
tumbuh menjulang menjadi sebuah rumah, menjadi seorang ayah. Ah,
alangkah rapuhnya jika rumah itu nanti ditempati. Aku tak punya kaki
untuk pondasi. Dari mana kuambil pelajaran mejadi sebuah rumah,
sedangkan aku tak pernah memiliki rumah.
“Kelak
kau akan menikah dan menjadi seorang ayah. Kau akan menjadi rumah
untuk keluargamu, untuk istri dan anak-anakmu. Kau akan menjadi
pelindung bagi mereka,” kata ibu lagi.
“Kenapa ayah selalu diartikan sebagai sebuah rumah, Bu?” iseng-iseng aku bertanya.
“Karena rumah adalah tempat yang aman untuk berlindung.”
“Apakah itu berarti, jika badai dan puting beliung mempesiang rumah kita, ayah kita akan mati?”
Ibu
terdiam. Ia mengusap kepalaku, menyuruhku segera tidur. Sudah malam,
katanya. Ia sendiri kembali ke kamarnya dengan langkah terhuyung dan
pundak yang berguncang. Maka, setelah ibu kembali ke kamarnya dan malam
menjadi sepi, aku akan menggeledah seisi rumah untuk mencari letak
wajah ayah. Namun tak pernah kutemukan. Hingga akhirnya aku termangu di
ruang tengah. Ruang yang kata ibu, dulu menjadi tempat semedi kesukaan
ayah.
Di sana
hanya ada sebuah ranjang reot dan kasur tipis yang kapasnya sudah
menggumpal. Aku selalu termenung di tempat itu. Membayangkan ayah yang
datang tiba-tiba dan memelukku, kemudian mengajakku berbincang panjang.
Namun di sana tak pernah ada sesuatu yang lain selain sepi yang
menggumpal. Di ranjang itu aku tak pernah bisa memejamkan mata.
***
Entah
musabab apa, malam itu, ketika rinduku pada ayah memuncak, malam
menjelma menjadi waktu yang sangat panjang, bagai tanpa ujung. Kamar ibu
sudah sepi. Barangkali ibu sudah terbang ke alam mimpi menemui ayah.
Dan
mataku masih nanar. Aku termangu menekuni malam yang seperti tengah
merencanakan sesuatu. Aku tersentak ketika hujan pertama menikam atap
rumah bagai hentakkan ujung tombak. Kasar dan keras. Sesekali kilat
menjantani malam dengan sinarnya yang hanya bagai kedipan mata. Suara
angin begitu nyata bagai tampak wujudnya.
Gemuruh yang gaduh. Gaduh yang gemuruh.
Aku
melangkah dari ranjang reot itu. Kuintip ibu yang sudah terbaring
pulas di ranjang kamarnya. Kutengok pula malam di luar jendela. Buruk
sekali. Hujan dan angin seperti bersatu menuntaskan dendam. Bunga-bunga
di halaman rebah bagai tertidur. Pepohonan meliuk-liuk bagai anak
kecil yang merajuk. Sepi yang beberapa waktu lalu menggumpal kini
mencair oleh tikaman air yang bising dan mengkhawatirkan. Aku kembali
ke ranjang reot tempatku bersemedi, hingga kudengar pintu depan
berderak bagai didobrak.
“Ayah,
kaukah itu?” kata itu meluncur begitu saja. Kutengok ruang depan,
pintu sudah menganga. Daun pintu terhempas membentur dinding beberapa
kali. Apa aku lupa mengunci pintu? Kudorong daun pintu kuat-kuat
melawan angin yang mengibaskan butir-butir air dan membuat kudukku
meremang, menahan dingin.
“Ada apa?” suara ibu mengagetkanku.
“Cuma angin.” Jawabku. Lantas ibu menyuruhku cepat-cepat tidur sebelum ia kembali ke kamarnya.
Aku
kembali ke ranjang reotku. Di sana kurebahkan tubuh. Mataku tengadah
menatap atap yang menghitam. Suara angin dan hujan merajalela. Aku tak
bisa memejamkan mata. Yang menderu dalam kepalaku hanya tentang ayah. Di
malam-malam galau begini ayah bagai sangat dekat. Dekat sekali. Hingga
tiba-tiba telingaku menangkap suara gemuruh yang lebih gaduh dari
sebelumnya.
Pada
detik itulah atap yang meneduhiku roboh menimpa tubuhku. Seperti adegan
dalam sebuah mimpi. Basah mulai mengguyurku. Kurasakan perih dan nyeri
di sekujur tubuhku. Di antara reruntuhan, mataku bagai menangkap
wujud angin mengibaskan ekornya yang terakhir, menyapu dinding dan
kamar ibu. Sempat kudengar teriakkan ibu sebelum perlahan semuanya
menjadi sunyi. Sunyi sekali.
Pada
detik itu, kurasakan ayah tengah mendekapku. Dan mungkin mendekap ibu.
Kami meringkuk tanpa suara dalam dekapan ayah. Dekapan ayah yang
sunyi. Sunyi sekali.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar ^^